Aktualisasi Takwa dalam Kehidupan Pemahaman Takwa dari Empat Perspekif

Oleh: Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag (Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan)
Dalam kajiannya yang bertema Aktualisasi Takwa dalam Kehidupan Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag dalam acara Kajian Ahad Pagi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk pada Ahad, (13/04/2025) yang berlangsung di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 1 Nganjuk.
Beliau memaparkan tentang halal bihalal ditinjau dari 3 perspektif. Yang pertama, dari perspektif politik. Ada yang mengklaim bahwa istilah halal bihalal pertama kali digunakan oleh Presiden Soekarno saat bertemu dengan para ulama dan para ketua partai politik yang saat itu kondisinya sikut-sikutan terus dan situasi itu makin meruncing. Maka untuk menetralkan situasi mereka dipertemukan dalam situasi Idul Fitri, dengan ungkapan halal bihalal dengan dimaknai kosong-kosong.
Yang kedua, dalam perspektif sosiologis. Dalam perspektif ini beliau mengambil contoh dari masyarakat Betawi. Di masyarakat Betawi, selepas solat ied dari lapangan atau masjid mereka berkunjung ke tetangga saling bermaafan dan anak kecil yang dibawa mendapat angpao dari tuan rumah. Jika dibandingkan di Arab pasca salat ied jalan sepi, karena di sana setelah sakat ied lang pulang ke rumah, kumpul dengan keluarga.
Yang ketiga, perspektif agama. Pada perspektif ini, di sini dapat diketahui bahwa yang pertama kali mengadakan halal bihalal adalah Muhammadiyah. Hal ini tercatat pada majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1920- an. Idul fitri dimaknai kembali berbuka. Dalam perspektif ini berbuka itu konteks poinnya setelah Ramadhan adalah menyangkut karakter.
Yang pertama apakah hati sudah terbuka? Terbuka memberi maaf, yang mewujud pada punya kepedulian. Yang kedua yaitu kembali pada fitrah, bersih, tak ada cela lurus tauhidnya. Inti takwa adalah maslahat. Takwa yang dimaknai yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan- Nya, membawa maslahat bagi diri dan orang lain.
Aktualisasi Takwa dalam Kehidupan
Pemahaman Takwa dari Empat Perspekif Ada empat dimensi takwa. Yang pertama, dimensi karakter. Untuk dimensi ini beliau menyandarkan pada pada Q.S Ali Imron ayat 133 – 134 yang artinya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
Ketakwaan terbentuk dari karakter kedisiplinan. Disiplin berinfak baik dalam keadaan lapang atau sempit. Kebiasaan baik ini akan membentuk karakter. Seorang ilmuwan terbentuk dari kedisiplinan membaca dan menulis. Beliau mencontohkan kitab Al Anshoh yang berisi konsep atom terdiri dari 1888 halaman ditulis dengan pena dan kertas yang sulit dicari saat itu takkan ada tanpa kedisiplinan sang ilmuwan.
Yang kedua, dimensi sistem literasi. Ia bermakna kemauan membaca dan menulis. Kemauan ini berdampak pada kemuliaan akhlaq. Adapun tingkatan membaca ada tiga yaitu qiroah, tilawah dan tartil. Qiroah bertujuan keilmuan. Ia terutama tertuju pada Allah, hingga menumbuhkan rasa khauf (takut) bagi orang muslim. Bagi muslim maupun non muslim pada tataran ini berdampak sama yaitu jadi berilmu, pintar. Di negara Inggris membuktikan bahwa indeks baca masyarakatnya tinggi. Hal ini dibuktikan dengan fakta di sana perpustakaan di perguruan tinggi buka jam 07.00 hingga pukul 02.00. Tilawah artinya membaca ayat-ayat Allah baik yang tertulis dan ayat ada yang ada di sekitar kita.
Contoh yang gamblang adalah bagaimana Kyai Dahlan mengajarkan surat Al Ma’un pada muridnya. Ketika diprotes muridnya karena sudah berminggu-minggu yang diajarkan hanya itu, lalu Sang Kyai bertanya, “Setelah hafal apakah sudah dipraktikkan?” Mereka jawab belum. Lalu Kyai Dahlan ajak muridnya ke jalan mencari orang miskin/pengemis dan anak yatim untuk disantuni. Tilawatul juga bisa dimaknai membaca Quran dengan suara bagus, dan dipahami maknanya (fahmul Quran), mentadzaburinya hingga membawa barokah. Dalam Qur’an Surat Shad ayat 29 Allah berfirman yang artinya: “(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (*)
Penulis: Panggih Riyadi | Editor: Septi Sartika